Mana Mungkin Aku Setia…
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan
bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada.
“Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.”
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta,
sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….
(Bacharuddin Jusuf Habibie, Habibie dan Ainun)
Penggalan
puisi di atas adalah ungkapan kehilangan yang sangat dalam dari Pak
Habibie saat beliau harus merelakan sang istri, Ibu Ainun Habibie pergi
menghadap Allah terlebih dahulu. Kehilangan inilah
yang membuat Pak Habibie harus melewati perawatan psikologi salah
satunya dengan terapi menulis yang kemudian menghasilkan sebuah buku biografi yang luar biasa berjudul Habibie
dan Ainun. Sepanjang membaca buku Habibie dan Ainun ini terasa sekali kedalaman cinta dari Pak Habibie kepada istrinya.
Banyak ungkapan yang selalu didengungkan beliau tentang betapa bahagia
dan beruntungnya mendapatkan istri yang selalu diliputi kesabaran dan
tanggung jawab.
Banyak ujian, banyak permasalahan dalam alur kehidupannya, apalagi ketika Pak Habibie dan Bu Ainun ingin mengambil pensiun namun kondisi tidak memungkinkan, karena Pak Habibie harus menerima tanggung jawab sebagai Wakil Presiden. Semua dapat dilalui dengan peran besar dari Bu Ainun yang selalu setia mendampingi dan memberikan masukan kepada sang suami.
Kisah mulai mengharukan ketika Bu Ainun menderita penyakit jantung, yang mengharuskannya menjalani operasi klep jantung. Jika dahulu Bu Ainun yang harus senantiasa mendampingi Pak Habibie dengan intensitas pekerjaannya yang tinggi, maka sekarang Pak Habibie yang terus berupaya menemani sang istri menjalani berbagai proses penyembuhan yang membutuhkan waktu hampir 10 tahun. Terasa sekali bahwa fase kehidupan inilah dan setelahnya yang banyak memeras psikologi Pak Habibie. Namun beruntunglah Pak Habibie memiliki agama dan Tuhan yang selalu tertanam dalam jiwanya, sehingga tidak membuatnya kehilangan kendali diri saat sang istri pergi selamanya.
Buku ini sangat menyentuh bagi saya karena saya seakan-akan dapat merasakan kepedihan yang sangat mendalam ketika Pak Habibie harus tabah ditinggalkan oleh Bu Ainun setelah kurang lebih 48 tahun hidup bersama, melewati suka dan duka bersama. Buku ini dapat menjadi refleksi atau pelajaran serta inspirasi bagi kita semua, terutama bagi yang ingin belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Buku ini juga mengajarkan saya, bahwa kita boleh mencintai seseorang namun janganlah melebihi cintamu kepada Allah. Karena semua yang kita miliki sekarang hanya bersifat sementara, semuanya akan kembali kepada Allah dan seberapapun beratnya, kita harus ikhlas dan tabah untuk melaluinya.